Kamis, 01 September 2016

TRADISI KOTA TRENGGALEK

3. TRADISI



Tradisi Kupatan
IMG_0703-300x225
Potensi kekayaan budaya yang berupa tradisi sangatlah banyak di suatu daerah. Bahkan untuk daerah yang sangat berdekatan sekalipun dapat saja berbeda. Meskipun berada dalam satu wilayah kabupaten, namun belum tentu antara satu daerah memiliki tradisi dan upacara ritual yang sama dengan daerah di sekitarnya.
Salah satu tradisi yang hingga kini masih sangat terjaga dengan baik bahkan justru semakin menyebar merambah ke wilayah-wilayah disekitarnya adalah tradisi kupatan di Kecamatan Durenan Kabupaten Trenggalek. Seperti kabupaten-kabupaten lain di daerah Propinsi Jawa Timur, Kabupaten Trenggalek juga termasuk salah satu kabupaten dengan pengaruh agama Islam yang sangat kental.
Hal tersebut selain dapat kita lihat saat ini dengan bukti banyak terdapat pondok pesantren dan juga berbagai peninggalan lain yang berkaitan dengan Islam. Salah satu dalam hal kebudayaan yang masih terdapat pengaruh Islam adalah tradisi kupatan yang telah berlangsung sejak lama. Tradisi ini sangat erat kaitannya dengan hari istimewa untuk umat Islam sendiri, yaitu Idul Fitri.
Idul Fitri adalah hari raya umat Islam yang jatuh pada tanggal 1 Syawal pada penanggalan Hijriyah. Karena penentuan 1 Syawal yang berdasarkan peredaran bulan tersebut, maka Idul Fitri atau Hari Raya Puasa jatuh pada tanggal yang berbeda-beda setiap tahunnya apabila dilihat dari penanggalan Masehi. Cara menentukan 1 Syawal juga bervariasi, sehingga boleh jadi ada sebagian umat Islam yang merayakannya pada tanggal Masehi yang berbeda. Pada tanggal 1Syawal, umat Islam berkumpul pada pagi hari dan menyelenggarakan Salat Ied bersama-sama di masjid-masjid , di tanah lapang, atau bahkan jalan raya (terutama di kota besar) apabila area ibadahnya tidak cukup menampung jamaah.
Begitupula yang terjadi di sebuah desa terpencil bernama Desa Durenan Kecamatan Durenan Kabupaten Trenggalek JawaTimur yang terkenal dengan oleh – oleh khasnya ( Alen – Alen, Manco, Tempe Kripik dan Nasi Tiwul –nya), namun ada sebuah keunikan pada hari raya Idul Fitri di desa tersebut. Pada tanggal 1 Syawal desa tersebut malah kelihatan sepi bak kota mati, tak ada kegiatan apapun seperti di kota anda seperti silaturahmi kepada warga sekitar, begitu pula hari ke-2 dan ke-3. Baru hari ke-4, 5, dan 6 sudah mulai kelihatan ada beberapa warga yang beraktivitas seperti berdagang dan bertani.
Tak Cuma itu, warga desa juga kebanyakan pada awal syawal tersebut melakukan ibadah puasa syawal selama satu minggu. Tentu nya setelah tanggal 1 syawal yang mana pada hari tersebut di haramkan berpuasa. Ada satu pertanyaan. Ada apakah gerangan? Apakah warga di daerah tersebut tidak merayakan hari raya Idul Fitri ? Ternyata warga masyarakat di Durenan juga turut serta merayakannya, namun memang hari pelaksanaannya yang berbeda dengan masyarakat lain pada umumnya.

Memang cocok sebutan “Durenan Kota Sejuta Ketupat” karena di salah satu kecamatan Kabupaten Trenggalek yang terkenal dengan kripik tempenya ini, tradisi lebaran ketupat dilakukan pada 8 lebaran Idul Fitri atau setelah menjalankan puasa sunnah selama 6 hari. Yang menarik pada saat kupatan setiap rumah menggelar open house dan menyediakan makanan berupa ketupat dengan aneka macam sayur bagi keluarga dan kerabatnya untuk bersilaturrahmi, Bukan hanya kerabat dan keluarga, bahkan pengunjung yang tak kenalpun, warga Durenan akan dengan senyum lebar menerima para pengunjung dengan niat menyambung tali silaturrahmi dan melengkapi hari kemenangan umat Islam tersebut. Tradisi kupatan sudah dilakukan secara turun temurun sehingga banyak saudara maupun keluarga yang dari luar Durenan lebih memilih untuk bersilaturahmi ketika lebaran ketupat.  Sehingga pada lebaran ketujuh lah akan sangat terasa perbedaannya secara signifikan karena sangatlah ramai orang bersilaturahmi.
qwe
Menurutnya riwayat jaman dulu, tradisi ini berawal dari kebiasaan keluarga KH Abdul Mahsyir atau yang lebih akrab disebut dengan “Mbah Mesir” yang merupakan salah tokoh ulama terkenal di kecamatan Durenan, Mbah Mesir merupakan putra Kiai Yahudo, Slorok, Pacitan, yang masih keturunan Mangkubuwono III , salah seorang guru Pangeran Diponegoro. Konon pada waktu itu setiap sehabis hari raya Idul Fitri pertama , Mbah Mesir selalu di undang oleh bupati Trenggalek ke pendopo . Di situlah Mbah Mesir menjalankan puasa selama 6 hari berturut – turut dan setelah itu pulang ke kediamannya di Durenan. Sehabis pulang dari pendopo, mayarakat sekitar selalu sowan (bersilaturahmi ) ke rumah Mbah Mesir.

Dalam perkembangannya sekarang, ketika perayaan kupatan ini kemudian banyak bermunculan berbagai macam acara hiburan seperti misalnya pementasan musik, pengajian atau tausiyah, dan pawai. Kecamatan Durenan seketika itu menjadi sangat padat dan ramai. Banyak pos – pos yang menyediakan ketupat gratis. Baik untuk saudara maupun untuk orang yang sama sekali belum kenal. Biasanya pada saat inilah berbondong-bondong orang dari luar kota ingin sekali melihat dan merasakan suasana yang sangat unik ini. Selain dapat merasakan kekayaan kuliner khas masyarakat Durenan, wisatawan ini juga dapat menikmati suguhan berbagai acara pentas.


Tradisi Nyadran
frttBAGONG+3




latar belakang upacara adat Nyadran Bagong bermula dari tokoh Minak Sopal yang ingin menyebarkaan agama Islam di Trenggalek yang menggunakan taktik syiar agama dengan melihat mata pencaharian penduduk Trenggalek yang mayoritas adalah petani; proses pelaksanaan upacara adat Nyadran Bagong terdiri dari tahap persiapan dan pelaksanaan; tujuan pelaksanaan upacara adat Nyadran Bagong bertujuan untuk menghormati, menghargai, mensyukuri dan memohon keselamatan agar terhindar dari bencana dan pertanian meningkat; nilai-nilai yang terdapat dalam upacara adat Nyadran Bagong yaitu nilai religi, gotong-royong, persatuan, kekeluargaan, dan musyawarah; nilai-nilai yang terkandung dalam upacara adat Nyadran Bagong diterapkan dalam kehidupan sehari-hari; persepsi masyarakat Kelurahan Ngantru, Kecamtan Trenggalek, Kabupaten Trenggalek terhadap upacara adat Nyadran Bagong yaitu yang minoritas masyarakat tidak mendukung terhadap pelaksanaan upacara adat Nyadran Bagong.
Berdasarkan hasil penlitian, dapat disarankan upacara adat Nyadran Bagong merupakan tradisi leluhur yang didalamnya terdapat nilai-nilai luhur sebagai pedoman hidup. Oleh karena itu upacara adat Nyadran Bagong harus dijaga kelestariannya.

Tradisi Larung Sembonyo
fasa
Mitos masyarakat teluk Prigi tentang pembuatan kawasan teluk Prigi merupakan asal usul adanya upacara Larung sembonyo.
Masyarakat Prigi hampir seluruhnya beragama Islam, namun mereka merasa kurang tentram hidupnya bila meninggalkan tradisi dan upacara Sembonyo yang diyakini untuk menjaga keseimbangan dengan alam sekitarnya serta alam semesta. Upacara Sembonyo dilakukan setiap bulan Selo, hari senin Kliwon setiap tahun.
Pelaksanaannya dilakukan oleh masyarakat nelayan dan petani berkaitan dengan mata pencaharian sebagai nelayan, petani serta merupakan sarana unutuk menghormati leluhurnya yang berjasa dalam membuka kawasan teluk Prigi. Mereka tidak ingin melupakan jasa Tumenggung Yudo Negoro sebagai pahlawan sekaligus sebagai pendiri desa Tawang, Tasikmadu. Jika mereka melalaikan takut ada gangguan, sulit dalam penanngkapan ikan, panen pertanian gagal, timbul wabah, bencana alam dan sebagainya.
Upacara Larung sembionyo pada tahun 1985 dilaksanakan secara besar-besaran setelah sebelumnya terhenti akibat situasi politik. Peringatan saat itu dibantu Pemda kab. Trenggalek dalam rangka promosi wisata.Upacara Sembonyo dilaksanakan penuh syarat syarat, dan beraneka ragam larangan. Hal ini mempengaruhi watak masyarakat Prigi, khususnya masyarakat nelayan yang membutuhkan ketekunan, ketabahan dan keberanian menantang maut, yang mengintai setiap saat. Laut ladangnya, laut tempat rejekinya.
Larung sembonyo dilaksanakan di Teluk Prigi, Desa Tasik madu atau Karanggongso Kec. Watulimo. Upacara adat atau upacara tradisional lainnya yang tempat pelaksananaannya didesa Tasik madu, Prigi, Margomulyo, Karanggandu, dan Karanggongsoitu disebut dengan berbagai istilah: sedekah laut; larung sembonyo; upacara adat sembonyo; mbucal sembonyo; bersih laut.
Sembonyo sebenarnya nama mempelai tiruan berupa boneka kecil dari tepung beras ketan, dibentuk seperti layaknya sepasang mempelai yang sedang bersanding. Duduk diatas perahu lengkap dengan peralatan satang, yaitu alat unutuk menhjalankan dan mengemudikan perahu. Penggambaran mempelai tiruan yang bersanding diatas perahu ini dilengkapi pula dengan sepasang mempelai tiruan terbuat dari ares atau galih batang pisang, diberi hiasan bunga kenangadan melati, lecari. Karena sembonyo mengambarkan mempelai, maka perlengkapan upacara adat sembonyo juga dilengkapi dengan asahan atau sesaji serta perlengkapan lain seperti halnya upacara perkawinan tradisional jawa.
bbg

Tiruan mempelai yang disebut Sembonyo itu berkaitan dengan mitos setempat mengenai terjadinya tradisi larung sembonyo. Tradisi ini bermula dari suatu peristiwa yang dianggap pernah terjadi , yaitu perkawinan antar Raden Nganten Gambar Inten, dengan Raden Tumenggung Kadipaten Andong Biru. Raden Nganten Gambar Inten juga terkenal dengan nama raden Nganten Tengahan.
Perkawinan itu dilaksanakan sebagai syarat keberhasilan Raden Tumenggung Andong Biru Atau Raden Tumenggung Yudo negoro membuka hutan wilayah teluk Prigi dan sekitarnya untuk dijadikan daerah pedesaan, yang sebelumnya dikenal sebagai hutan yang sangat angker dan tidak dapat dihuni manusia.
Pelaksanaan upacara adat larung sembonyo menggambarkan kesibukan keluarga yang punya hajat mengawinkan dan mengadakan pesta untuk memeriahkan perkawinan itu.
Pelarungan sembonyo dan berbagai asahan dan sesaji didorong oleh niat, harapan dan permohonan untuk mendapatkan keselamatan dan memperoleh hasil dari laut dan daratan yang melimpah.
foto2.jpgPerkawinan itu dilaksanakan pada hari senin kliwon , bulan selo, dimeriahkan dedngan kesenian Tayub selama 40 hari 40 malam. Bertolak dari dongeng itulah upacara adat Larung Sembonyo dilaksanakan dari tahun ke tahun oleh masyarakat teluk Prigi sampai sekarang.
Secara garis besar tahap tahap upacara adat Larung Sembonyo dibagi menjadi dua tahap persiapan yang meliputi: malam widodaren membuat sembonyo, kembar mayang, menyiapkan encek /sesaji serta menyiapkan kesenian jaranan untuk penggiring dan tahap pelaksanaan.
Sedangkan tahap pelaksanaan upacara Larung sembonyo: arak-arakan diberangkatkan dari kantor kecamatan watulimo menuju tempat pelelangan ikan yang telah dihiasi layaknya pesta perkawinan. Sembonyo diusung yang diriingi para petugas upacara dalam formasi tertentu.
Setelah dilakukan suguh, maka sembonyo ditaruh diatas gethek kemudian dilarung kelaut lepas.
wertt


Tradisi Tiban
tiban
Tari Tiban atau lebih tepatnya ritual Tiban merupakan tari atau ritual rakyat yang turun temurun menjadi bagian kebudayaan masyarakat Trenggalek. Tari Tiban selalu dipertujukkan saat musim kemarau yang berkepanjangan dengan tujuan sebagai permohonan diturunkannya hujan.
Tari Tiban terbagi menjadi 2 kelompok, masing-masing dipimpin 1 orang wasit atau biasa disebut Landang atau Plandang. Dalam ritual ini selalu diiringi dengan alunan musik layaknya gamelan lengkap yang terdiri dari kendang, kentongan, dan gambang laras.
Ritual ini cenderung ritual layaknya ajang mengadu ilmu ketrampilan atau kesaktian sambil menari-nari dan saling mencambuk dengan hitungan yang ditentukan oleh Landang. Cambuk yang digunakan dalam tari ini terbuat dari lidi pohon aren yang biasa di sebut ujung.
Permainan ini akan berlanjut sampai sore hari, dan bagi yang mereka yang merasa tidak sanggup melanjutkan akan digantikan oleh anggota kelompok berikutnya.

Tarian tiban adalah sebuah permintaan permohonan kepada yang maha kuasa berharap untuk diturunkanya hujan.Ada makna dalam dibalik ritual tarian tiban yaitu sebuah harapan sebuah pesan yang luhur demi lestarinya alam. Bukanlah kekerasan yang ditonjolkan melainkan nilai-nilai luhur atau sebuah pesan untuk menjaga keseimbangan alam.

0 komentar:

Posting Komentar

 

MENGENAL KOTA TRENGGALEK Published @ 2014 by Ipietoon

Blogger Templates